Tribuanapost.id-Rembang – Dugaan kasus pelecehan seksual kembali mencoreng dunia pendidikan berbasis keagamaan. Hingga Senin siang (5/5/2025), dua orang santriwati di bawah umur resmi melaporkan dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang oknum pengasuh pondok pesantren di Kecamatan Sedan, Kabupaten Rembang.
Kepolisian Resor (Polres) Rembang saat ini telah menerima laporan tersebut dan sedang menindaklanjuti proses penyelidikan. Hal ini disampaikan oleh Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Polres Rembang, Iptu Alva Zakya Akbar melalui Kepala Urusan Pembinaan Operasi (Kaur Binops) Satreskrim, Iptu Widodo Eko Prasetyo.
“Benar, sampai saat ini sudah ada dua korban yang melapor. Keduanya masih di bawah umur. Kami membuka ruang bagi korban lain yang merasa mengalami hal serupa untuk melapor,” ujar Widodo saat dikonfirmasi.
Menurut Widodo, penyidik masih dalam tahap pemeriksaan terhadap sejumlah saksi untuk mengumpulkan bukti awal. Hingga berita ini ditulis, belum ada penetapan tersangka.
“Saat ini kami masih fokus memeriksa saksi-saksi. Proses hukum akan berlanjut sesuai prosedur. Setelah pemeriksaan terhadap para saksi dirasa cukup, baru kemudian terlapor akan kami panggil untuk dimintai keterangan,” jelasnya.
Tahapan selanjutnya, kata Widodo, adalah gelar perkara guna menentukan ada atau tidaknya unsur pidana serta siapa yang akan ditetapkan sebagai tersangka.
Kasus ini mencuat setelah beredarnya informasi yang menyebut seorang pria berinisial A, yang merupakan pengasuh pondok pesantren sekaligus kepala madrasah di Kecamatan Sedan, diduga melakukan tindakan tidak senonoh terhadap beberapa santriwati.
Berdasarkan keterangan sementara dari korban, pelaku menggunakan modus pemeriksaan henna atau kutek yang digunakan santriwati. Namun dalam praktiknya, ia justru diduga membuka pakaian korban dan menyentuh bagian tubuh yang sensitif. Aksi tersebut diduga dilakukan di lingkungan pondok pesantren tempat korban menimba ilmu.
Pihak yayasan yang menaungi pondok pesantren tersebut telah mengambil langkah awal dengan menonaktifkan A dari jabatannya sebagai pengasuh dan kepala madrasah. Keputusan itu diambil guna memberikan ruang bagi penegak hukum untuk mengusut tuntas kasus ini tanpa adanya intervensi.
“Penonaktifan dilakukan agar proses hukum berjalan secara objektif dan tidak mengganggu kenyamanan lingkungan pesantren,” ujar salah satu pengurus yayasan yang enggan disebut namanya.
Kasus ini menambah deretan panjang dugaan kekerasan seksual di lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat aman bagi anak-anak. Aktivis perlindungan anak dan perempuan di Rembang juga mendorong aparat kepolisian untuk menangani kasus ini dengan transparan dan berpihak kepada korban.
Mereka juga mengingatkan pentingnya edukasi dan pengawasan ketat terhadap aktivitas yang terjadi di dalam lingkungan pesantren, agar tidak ada celah bagi terjadinya pelanggaran hak anak dan kekerasan seksual yang merusak masa depan generasi muda.