Tribuanapost.id-Supriyanto Martosuwito,Setidak tidaknya empat kali nyawa saya diselamatkan oleh rumah sakit. Tepatnya oleh dokter dan tenaga medis lainnya di rumah sakit. Tapi saya – dan kita semua – juga perlu kritis kepada manajemen rumah sakit, terutama RS swasta – yang menjadikan pusat kesehatannya sebagai lembaga usaha yang mencari keuntungan dengan memeras kantong para pasien – hal mana sudah menjadi rahasia umum.
Rumah sakit kini menjadi gedung bisnis, seperti pendidikan dan perbankan. Para konglomerat pun terjun ke ceruk ini, bukan untuk pengabdian masyarakat melainkan untuk mencari “cuan” besar.
Ada anekdot tentang sales “tele-marketing” Indonesia yang baru kerja di Amerika. Seharian menunggui telepon, hanya mendapat satu klien, dan karena itu supervisor marah. Sebab sales lain mendapat 5 sampai 10 klien per hari. Betapa terkejut sang Supervisor ketika sales itu menyebut dari satu klien itu mendapatkan 1 juta dollar.
Bagaimana caranya? Si sales menyatakan, kliennya mengeluh sakit kepala. Lalu disarankan agar rekreasi memancing dan membeli alat pancing. Untuk terapi terbaik adalah memancing di laut, maka ditawarkan perahu. Setelah membeli perahu diperlukan mobil khusus untuk mengangkutnya – mobil khusus pun ditawarkan dan dibeli. Dan seterusnya hingga klien terkuras kantongnya hingga USD 1 juta.
“Dapat ilmu dari mana anda cara berjualan seperti itu? ” supervisor bertanya takjub.
“Dari rumah sakit di Indonesia. Dulu saya kerja di bagian penerimaan pasien, ” kata sales.
Itu memang cerita satire. Tapi sama sama kita tahu, rumah sakit swasta di Indonesia sering memperbesar masalah pasien menjadi gawat, agar kantong pasien terkuras. Setidaknya mengeruk uang asuransi. Hanya karena sesak nafas lalu dites jantung, dan masuk mesin pemeriksa jantung, lalu dirawat dan membayar obat obatan termahal. Hanya karena benjol di dahi harus dioperasi bedah dan ditunjuk dokter ahli, dan kena charge Rp.15 juta – padahal bisa ditangani suster. Dan seterusnya. Dan itu bukan fiksi, melainkan kisah nyata. Keluarga teman saya mengalaminya.
Banyak pasien kaya Indonesia lebih memilih berobat di luar negeri, ke Singapura, Malaysia dan Australia – karena layanan buruk dan salah diagnosa di sini. Bukan tenaga medis tak tahu tapi disengaja. Tim medis mendapat tekanan manajemen rumah sakit supaya uang pasien terkuras sebanyak banyaknya. Pasien dirawat lebih lama. Bergantung pada RS.
KINI, terkait masalah ini – terungkap temuan dan skandal baru di rumah sakit. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut, potensi kerugian negara akibat fraud (kecurangan) pihak rumah sakit (RS) dalam mengajukan klaim ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menembus lebih dari Rp 1 triliun.
Menurut pengusutan KPK, bersama sama Kementerian Kesehatan, BPJS, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) setidaknya ada tiga rumah sakit yang mengajukan klaim fiktif (“phantom billing”) ke BPJS yang merugikan negara puluhan miliar.
Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan, jika kerugian negara dihitung dari RS secara nasional, potensi nilai kerugian itu bisa tembus Rp 1 triliun.
Tim Penanganan Kecurangan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menerjunkan tim untuk memeriksa enam RS di 3 provinsi sebagai sampel, menindaklanjuti temuan dugaan “fraud” dari laporan BPJS. Hasilnya, ada RS di Provinsi Sumatera Utara (Sumut) diduga melakukan “phantom billing” dengan nilai kerugian negara Rp 1 miliar sampai Rp 3 miliar.
Pahala Nainggolan mengungkapkan, ada dua modus “fraud” yang ditemukan oleh KPK, yakni “Phantom Billing” atas layanan fisioterapi dan juga “Manipulation Diagnosis” atas operasi katarak.
Untuk “Phantom Billing”, KPK menyoroti 3 rumah sakit dengan temuan tagihan klaim sebanyak 4.341 kasus, padahal hanya sekitar 1.000 kasus yang didukung catatan medis. Sebanyak 3 ribu kasus dinilai hanya diklaim sebagai fisioterapi yang tidak ada catatan medisnya.
“Pasien nggak ada, terapinya nggak ada, tapi dokumennya semua dibikin, sehingga seakan-akan dia mengeklaim untuk orang yang ada dengan terapi segala macam. Itu yang kita bilang ‘Phantom Billing’ itu,” papar Pahala.
Sementara untuk “Manipulation Diagnosis”, praktik yang terjadi adalah penggelembungan nilai. Misalnya ada tagihan untuk 10 kali fisioterapi, tetapi saat dicek lebih lanjut ternyata catatan medis pasien hanya 2 kali fisioterapi.
Saya tidak terkejut. Saat pulang kampung, kakak saya menyebut dia rutin minum obat jantung generik seharga Rp8.500 yang dibelinya di apotik. Tapi ketika dirawat di rumah sakit, obat yang sama persis, diklaim ke BPJS Rp.85 ribu. Padahal rumah sakit itu berafiliasi dengan ormas keagamaan ternama.
PENGELOLA rumah sakit mengeluh karena pembayaran tagihan dari pemerintah telat, membuat mereka harus nombok. Tapi melipat gandakan tagihan hingga 10 kali, menambah jumlah klaim, memperpanjang rawat inap agar negara membayar lebih mahal – bahkan mengajukan klaim fiktif – layak dipidanakan. Karena uang negara dan uang rakyat yang diambil.
Sejauh ini, di Indonesia belum pernah ada pengusutan klaim fiktif atau “phantom billing”. Tapi di Amerika sudah terjadi dan itu dianggap kejahatan. Modus “phantom billing” merupakan kecurangan yang paling mudah dibuktikan karena pihak RS tidak lagi bisa mengelak. Karena itu, klaim curang rumah sakit, layak dibawa ke ranah pidana dan pelakunya dipenjara karena merugikan negara.
“Kita pilih yang ini (‘phantom billing’) saja dulu yang paling gampang,” janji Pahala Nainggolan, Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK.
Semoga benar benar terlaksana, bukan gertak sambal ala KPK dan berakhir dengan “cincai cincai” – seperti yang diduga dilakukan petinggi KPK, Firli Bahuri kepada Syahrul Yasin Limpo.