Tribuanapost.id–Supriyanto Martosuwito,Penerimaan PP Muhamadiyah – sebagai ormas keagamaan – atas izin tambang, menyusul Nahdlatul Ulama (NU) disertai pernyataan yang amatlah naif : menerima izin tambang asal tidak merusak lingkungan.
Bagaimana tambang tidak merusak lingkungan ? Pertambangan jelas merusak lingkungan! Sebagaimana industri, pabrik-pabrik, jalan aspal dan kendaraan yang lalu lalang, mall, bangunan pencakar langit di kota kota besar – semua merusak lingkungan.
Bahkan komplek perumahan, yang dihuni warga menengah di kota, dan ‘real estate’ untuk kalangan elite termasuk merusak lingkungan.
Karawang dan kawasan utara Jawa selama puluhan tahun dikenal sebagai lumbung pagi nasional. Tiga puluh tahun lalu, hamparan sawah di Karawang dan Pantura, seperti tak berujung. Kini diisi oleh perumahan, perkampungan dan pertokoan di pinggir jalannya.
Usaha perkebunan, penanaman kelapa sawit, karet, jagung, tebu, kopi, dan produk konsumsi lainnya yang masing masing jutaan hektar luasnya, mengusir gajah, harimau, burung burung langka dan orangutan dari habitat dan tempat kembang biak mereka. Merusak lingkungan juga.
JIKA Anda menginginkan agar tidak ada kerusakan lingkungan akibat tambang, marilah kita kembali ke abad 18 Masehi, ke era agraris, ke masa kehidupan pra industri; kemana mana naik kuda. Naik delman. Melewati jalanan tanah yang dikeraskan dan berbatu.
Sebab jalan raya menggunakan produk pertambangan; aspal. Komponen utama yang ada di mobil dan motor – yang menjadi tulang punggung pergerakan warga modern – sebagian besarnya menggunakan produk pertambangan : besi baja, aluminium, tembaga, timah, nikel dan lainnya. Juga BBM sebagai tenaga pendorongnya. Hasil tambang.
Jangan gunakan listrik lagi, karena cahaya dan stroom yang mengalir darinya ditenagai oleh batubara dan itu produk pertambangan. Jangan Anda berkantor, karena pesawat telepon dan komputer dibuat dari produk tambang. Lift untuk naik ke lantai 15 dari hasil tambang juga.
Ibukota dengan cahaya berpendar pendar siang malam, digerakkan listrik yang ditenagai oleh batubara dan itu produk pertambangan!
Oh ya, jangan naik bus kereta dan pesawat. Karena Anda tidak bisa mengudara kalau pertambangan diharamkan.
MASALAHNYA bukanlah pada dampak kerusakan lingkungan akibat penggalian sumber alam pada pertambangan, melainkan apakah kerusakan lingkungan itu sepadan dengan hasilnya. Mensejahterakan rakyat. Memperkuat devisa negara.
Para bapak pendiri bangsa (founding fathers) telah berwasiat, bahwa “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” – UUD 45 Pasal 33 ayat (3).
Apakah dari hasil tambang negara sudah memakmurkan rakyat? Dan pemerintah sudah mengelola dengan benar?
Apakah warga dan masyarakat di sekitar pertambangan mendapat berkah dari pertambangan itu?
Mengapa yang nampak makmur dan kaya raya adalah pengusahanya saja, seperti Dato’ Low Tuck Kwong (PT Bayan Resources Tbk), Eka Cipta Wijaya (Sinar Mas Grup), Theodore Permadi Rachmat, Edwin Soeryadjaya, Sandiaga Uno, dan Benny Soebianto, serta Garibaldi ‘Boy’ Thohir (Adaro Energy), Kiki Barkie (Harum Energy Tbk), Peter Sondakh (Rajawali Corpora), Aburizal Bakrie (PT Bumi Resources Mineral) dan lain lain.
Pada level lokal, khususnya di Kalimantan ada Haji Isam – Abdul Rasyid – Hasnuryadi Sulaiman. Mengapa hasil tambang kita hanya memperkaya segelintir warga saja?
INDONESIA kita adalah negeri kaya dan setidaknya memiliki 20 hasil tambang, yaitu Batu Bara – Minyak Bumi – Gas Alam – Emas – Perak – Intan – Platina – Aluminum – Timah – Tembaga – Nikel – Aspal – Marmer – Belerang – Mangan – Bauksit – Batu Gamping – Bijih Besi – Fosfat – Gipsum. Semua bisa memakmurkan rakyat, jika dikelola dengan benar.
Mengutip keterangan PPTAK dan Ketua KPK Abraham Samad, kalau saja di dunia pertambangan ini kita bisa menghapus celah-celah korupsi, “setiap kepala orang Indonesia itu setiap bulan akan mendapatkan uang Rp 20 juta tanpa kerja apa pun, termasuk anak kecil,” ucap Menko Polkam Mahfud MD, pada Selasa 21 Maret 2023 lalu. “Rp 20 juta setiap bulan gratis dari negara,” imbuh Mahfud.
Jazirah Arab yang gurun pasir menjadi negeri makmur dan sejahtera berkat pertambangan, khususnya minyak bumi. Menyadari sumber minyak akan habis, mereka mencari devisa lewat bisnis pariwisata – termasuk wisata reliji dengan mendatangkan jemaah haji. Arab Saudi, Qatar, Kuwait menjadi sangat kaya, karena tambang mereka dikelola dengan benar – selain sedikit penduduknya.
Selama puluhan tahun ribuan ton emas dari Papua diangkut ke Amerika dengan pembagian yang tidak adil. Bahkan rakyat Papua masih sengsara. Demikian juga pengelolaan timah di Bangka dan gas di Aceh.
Ada pameo mengejutkan:
Jika ada pohon ganja di pekarangan rumahmu, maka itu milikmu. Tanggung jawabmu. Dan kamu masuk penjara karena itu. Tapi jika ada sumur minyak di pekaranganmu, maka itu milik negara. Dan kamu harus enyah dari situ.
Maka para politisi, aktifis dan pakar yang anti tambang – dengan alasan merusak lingkungan, berpikir cermatlah: Jangan Asal Mangap! Atau membaca ulang teks.
Bukan tambangnya yang diharamkan, melainkan pengelolaannya. Praktik “kong kalikong” dan korupsinya. Pengelolaan dan penegakkan aturan dan hukumnya. Saya yang tak makan bangku kuliah saja paham.
Orang Amerika sendiri yang menyatakan tambang emas adalah kutukan. Apakah negara menguasai dan mengelola sepenuhnya? Mengapa yang kaya dan makmur sejahtera hanya para pengusaha dan kaki tangannya – pejabat yang mem-backing-inya; sementara rakyat di sekitar tambang malah sengsara?!
Mengapa masih ada konflik tambang yang merugikan penduduk sekitar. Mengapa penegak hukum cenderung pro pengusaha dan orang kaya. Dan ikut menyengsarakan rakyat?
Tentu saja ada idealisme di sana, menerima tambang dengan prinsip yang pro terhadap lingkungan dan kesejahteraan sosial – sebagaimana diinginkan PP Muhamadiyah.
Mari kita lihat sepak terjang PP Muhamadiyah dan NU di pertambangan.