Stanley Khu (Staf Pengajar Prodi Antropologi Universitas Diponegoro)
Tarian kuda amat tersohor di pulau Jawa, khususnya di daerah Jawa Tengah dan Timur, dengan aneka sebutan: kuda kepang, jaran kepang, kuda lumping, jathilan. Privilese terhadap kuda sendiri bisa dibaca sebagai upaya untuk mengidentikkan diri dengan konsepsi prajurit di masa lampau, yang memakai kuda sebagai tunggangan perang mereka.
Dalam konteks Asia secara umum, identifikasi diri dengan kuda dicontohkan dengan gamblang oleh kuncir kuda yang menjadi gaya rambut khas lelaki etnis Manchu di masa lalu. Dalam konteks Indonesia sendiri, tarian kuda bisa juga dimaknai sebagai bagian dari warisan animistik Nusantara, yang terbukti oleh eksistensinya di tempat-tempat di luar Jawa semisal Bali (sanghyang jaran) dan Sumbawa (sirih puan).
Tapi, sebagai kesenian, tarian kuda tidak punya derajat yang setara dengan bentuk kesenian lainnya, yang pada gilirannya mengingatkan kita pada pembedaan Geertz antara kesenian yang alus dan kasar. Persepsi ihwal tarian kuda sebagai kesenian kasar, berikut konotasi negatif yang mengikutinya, terutama mulai terbentuk dalam periode Orde Baru.
Selama era Suharto, muncul upaya serius untuk menyokong apa yang secara variatif dinamakan kesenian nasional atau kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari proses pembangunan karakter bangsa. Tapi, ‘nasional’ dan ‘Indonesia’ dalam pembayangan ini tidak dimaknai sebagai sifat-sifat yang secara inklusif dikandung oleh semua jenis kesenian, karena hanya jenis-jenis yang dianggap alus semisal wayang atau bedhaya yang dipopulerkan serta dipromosikan oleh negara.
Apakah gerangan karakteristik dari kesenian yang dikategorikan sebagai alus? Salah satu indikator pokoknya adalah tiadanya pengalaman kesurupan dalam sebuah kesenian, sebagaimana identik pada tarian kuda, di mana seorang pawang berperan dalam mengundang roh untuk memasuki raga para anggota kelompoknya dan memastikan roh-roh ini meninggalkan raga penari di akhir pertunjukan.
Kesurupan bermakna bahwa individu pada momen tertentu bukanlah dirinya sendiri. Terlebih lagi, dalam kasus ketika roh yang merasuki adalah binatang, individu tidak hanya bukan dirinya sendiri, tapi sedang menjadi sesuatu yang berada di bawah level eksistensinya. Keadaan ini tentu bertolak belakang dengan sifat alus (terutama dari sudut pandang kultural dan kognitif) yang dianggap mencirikan manusia dan menjadikannya lebih unggul daripada makhluk lainnya di muka bumi.
Konsekuensinya, jika tarian kuda hendak dikategorikan sebagai alus, fase kesurupan dalam pertunjukan harus dihilangkan, dengan fokus yang kini dialihkan pada aspek hiburan dan estetika semata.
Ini tidak hanya sekadar imbauan, karena tercatat bahwa sejak kurun 1980-an pemerintah dengan sistematis menetapkan regulasi untuk mencegah para penari kesurupan dan melakukan hal-hal ekstrem (mulai dari memakan benda berbahaya sampai gestur-gestur yang dipersepsikan sebagai homoseksual atau erotis). Mengutip Browne, kita bisa menyatakan bahwa terjadi domestikasi terhadap tarian kuda.
Dengan kata lain, kuda, yang secara hakiki adalah binatang dan oleh karenanya liar (baca: alam), perlu dijinakkan sebelum bisa dirangkul sebagai bagian dari kehidupan manusia (baca: budaya).
Dalam proses ini, penekanannya tidak lagi pada kontak intens nan metafisik dengan alam, melainkan pada perayaan keduniaan untuk menandai fase-fase penting dalam alur hidup manusia. Ini menjadikan tarian kuda dalam upacara-upacara seperti peringatan kelahiran atau pernikahan tak ubahnya sebuah festival, sesuatu yang festive (secara harfiah: riang-gembira), dan faktanya, demikianlah tarian ini kini dimaknai.
Kehendak untuk mencita-citakan pembangunan bangsa tentu saja hal yang baik. Tapi, kita juga mesti mengingat konotasi implisit dari kata ‘pembangunan’ sendiri. Kata ini secara pasti terkait erat dengan development, dan terutama dalam pemakaian politisnya, merujuk secara spesifik pada model Barat tentang ekonomi dan tata-negara.
Dari sini, ‘pembangunan’ akhirnya berkelindan dengan nilai ideal Barat lainnya, ‘modern’, yang secara sederhana bisa kita maknai sebagai apapun yang terpisah dari kepercayaan lokal. Dengan demikian, dalam konteks tarian kuda, regulasi dan nilai-nilai nasional yang dipaksakan padanya menuntun pada kontradiksi antara dua elemen yang saling bertentangan: tradisionalitas dan modernitas.
Jadi, pertanyaannya barangkali adalah: bagaimana mendamaikan kontradiksi ini? Apakah satu-satunya solusi adalah memberantas habis warisan animistik Nusantara demi menampilkan sebuah pertunjukan yang lebih sesuai dengan preferensi dan disposisi modern kita (terutama: para wisman yang datang berlibur ke Indonesia), yang terobsesi dalam menceraikan ranah spiritual dengan material sehingga kesenian lokal pada akhirnya tidak lebih daripada sebuah peristiwa hiburan?
Dengan mengakui keniscayaan tak terelakkan dari hal-ihwal spiritual dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa mulai memahami ulang apakah makna dari ‘pembangunan’. Alih-alih mereduksi istilah ini hanya pada isu-isu teknologis dan infrastruktural, kita bisa mulai mengakui bahwa dalam sebuah proyek seambisius pembangunan bangsa, indikator pencapaian tidak bisa hanya mengacu pada ukuran-ukuran kuantitatif (pengetahuan modern), tapi juga harus secara simultan menimbang segi-segi kualitatif (kearifan lokal).
Andaikan ada yang bertanya apakah gerangan yang arif dari aksi-aksi ekstrem seperti makan beling, studi-studi antropologis sebenarnya telah menyodorkan jawabannya. Kita bisa mengambil satu contoh kasus. Dalam studinya tentang kultus Sufi Hamadsha di Maroko, Crapanzano mendokumentasikan aksi-aksi ekstrem dalam ritual rutin mereka, semisal menyayati tubuh dengan kapak dan menari atau menjerit-jerit sampai pingsan.
Anggota kultus tidak melakukan semua ini karena mereka adalah masokis atau mengidap gangguan jiwa. Sebaliknya, menurut Crapanzano, ritual dengan konten ekstrem seperti yang dilakukan Hamadsha adalah cara sebuah masyarakat untuk secara kultural menyediakan ruang berekspresi yang sahih bagi individu: ritual adalah sarana untuk mengungkapkan apa yang normalnya, secara normatif, tidak bisa atau tidak boleh diungkapkan.
Dengan menyediakan pelepasan tegangan-tegangan psikologis dalam diri, ritual membantu individu untuk secara berkala mengosongkan beban hidup dan mengisi dirinya dengan tenaga baru sebelum melepasnya kembali ke dalam masyarakat.
Deskripsi ini tak pelak paralel dengan apa yang terjadi dalam tarian kuda atau bentuk kultural ekstrem lainnya secara umum. Dengan demikian, untuk menanggapi pertanyaan soal apa yang arif dari kesenian seperti tarian kuda, salah satu jawabannya terletak pada fungsi terapeutiknya, pada fakta bahwa jauh sebelum Sigmund Freud lahir, sebagian besar masyarakat dunia (termasuk Nusantara) telah mampu merancang model terapi mereka sendiri dalam rangka mengatasi tegangan abadi antara diri dan kolektif, tegangan yang menjadi fondasi utama disiplin ilmu psikologi ‘modern’.
Referensi
Browne, K.O. 2003. “Awareness, Emptiness, and Javanese Selves: Jatilan Performance in Yogyakarta, Indonesia.” Asia Pacific Journal of Anthropology 4 (1-2): 54‐71.
Christensen, P. 2014. “Modernity and Spirit Possession in Java: Horse Dance and Its Contested Magic.” In Dynamics of Religion in Southeast Asia: Magic and Modernity, edited by Volker Gottowik, 91-110. Amsterdam: Amsterdam University Press.
Crapanzano, V. 1973. The Hamadsha: A Study in Moroccan Ethnopsychiatry. Berkeley: University of California Press.