Ditulis Oleh : AS Laksana (Penulis buku dan Novelis)
Sudah tiga tahun lebih saya berdiam di Tulang Bawang Barat (Tubaba), Lampung, menikmati tempat yang sunyi dan jauh dari kemacetan. Mula-mula saya berpikir bisa melakukan sesuatu untuk daerah ini, setidaknya dalam urusan yang saya sanggup—tulis-menulis.
Tubaba adalah daerah transmigrasi dan anda bisa membayangkan seperti apa daerah transmigrasi: Nyaris tidak ada akses terhadap apa saja yang diperlukan orang untuk meningkatkan kualitas hidup. Program transmigrasi adalah tindakan negara untuk memindahkan orang-orang dari daerah padat penduduk ke tempat-tempat yang jarang penduduknya, dan daerah yang jarang penduduknya itu seringkali adalah daerah yang terisolir dari dunia ramai.
Di tempat-tempat semacam itu tidak ada toko buku, tidak ada perpustakaan, tidak ada gedung kesenian, tidak ada galeri, tidak ada museum, tidak ada tempat bermain untuk anak-anak, tidak ada kursus piano, tidak ada kursus menyanyi, tidak ada sanggar tari kontemporer, tidak ada kafe, tidak ada taman kota. Dan, yang terpenting, tidak ada sekolah bagus. Pendeknya, tidak ada apa pun yang menarik minat para pemodal untuk datang ke sana.
Pada tahun pertama saya tinggal di sana, bupati menanyakan apakah saya bisa mengajarkan penulisan jurnalistik kepada para wartawan.
“Agar mereka bisa menulis lebih baik,” katanya.
“Saya tidak sanggup, Pak,” kata saya.
Profesi kewartawanan di tempat ini, dan saya yakin di tempat-tempat lain yang semacam ini, adalah profesi yang menyedihkan. Dalam percakapan-percakapan pengisi waktu dengan siapa saja yang saya jumpai, beberapa kali saya mendengar orang menyamakan wartawan dengan pemeras.
“Benci saya pada wartawan, Mas,” kata petugas keamanan di sebuah klinik.
*
Saya memutuskan berpindah ke Tubaba karena rasa hormat saya kepada Bupati Umar Ahmad yang sejak awal menyadari bahwa daerahnya memerlukan pemikiran. Tidak mungkin sebuah daerah bisa maju jika tidak ada pemikiran.
Ia telah melakukan sejumlah hal untuk membawa Tubaba ke lingkungan pergaulan yang lebih luas. Ia mengundang para penulis, penari, perupa, pemusik, dan arsitek, pelaku ekonomi kreatif untuk ikut bersama-sama memikirkan Tubaba. Dengan keterbatasan dana dan sebagainya, ia memperlihatkan kesungguhan untuk membangun lingkungan kreatif dan komunitas yang suportif bagi tumbuhnya kesenian modern—sesuatu yang terasa asing bagi daerah transmigrasi.
Satu kali saya pernah mengisi pelatihan menulis fiksi untuk pelajar SMA di sana, dan saya pikir tidak mungkin mengajarkan penulisan di tempat yang orang-orangnya tidak memiliki kebiasaan membaca buku, dan hampir seumur hidup tidak berurusan dengan buku selain buku-buku pelajaran sekolah. Mereka bahkan tidak memahami kalimat.
*
Daerah transmigrasi adalah contoh situasi ekstrem di mana orang tidak pernah memikirkan buku, dan tidak menganggap penting buku. Tetapi kurang suka membaca buku adalah masalah Indonesia, bukan hanya mereka yang tinggal di daerah transmigrasi.
Kurangnya kebiasaan membaca tentu mempersulit orang memahami dasar-dasar storytelling yang baik. Membaca buku membawa kita berkenalan pada gaya penulisan, struktur penceritaan, dan beragam genre. Ketika anda berminat menulis fiksi, membaca banyak karya sastra membantu anda mempelajari prinsip-prinsip pengembangan karakter, plot, dan deskripsi, latar, dan sebagainya. Tanpa akses ke bahan bacaan, sulit bagi orang untuk memperoleh pengetahuan yang mereka butuhkan untuk menghasilkan cerita yang berkualitas.
Kurangnya kebiasaan membaca buku dapat menghambat kemampuan orang untuk berpikir kritis dan imajinatif. Dengan membaca, orang memperluas kosa kata dan belajar cara baru untuk mengekspresikan diri; itu dapat meningkatkan keterampilan berpikir kreatif mereka. Tanpa keterampilan berpikir kreatif, anda sulit mengembangkan cerita yang kompleks, menarik, dan memikat pembaca.
Perjumpaan yang luas dengan karya-karya sastra akan memperbaiki pemahaman orang tentang budaya, perspektif lain, dan pengalaman-pengalaman yang berbeda. Dan itu adalah bekal pertama untuk untuk menghasilkan karya fiksi berkualitas. Tanpa perjumpaan dengan beragam karya sastra, calon penulis akan kesulitan menciptakan karakter atau latar otentik, dan itu membatasi dampak dan resonansi cerita mereka.
Saat ini internet membuka peluang kepada siapa saja, di mana saja, untuk mengakses bahan-bahan bacaan yang mereka inginkan. Tetapi di antara mereka dan sumber-sumber pengetahuan itu ada tembok kokoh yang menghalangi, ialah bahasa. Bukan hanya bahasa asing, tetapi juga bahasa Indonesia.
Orang-orang yang tidak terbiasa membaca selalu akan kesulitan mencerna bahasa. Mereka kesulitan memahami pemikiran atau karya sastra dalam bahasa apa pun.[*]