“Kadang-kadang, Tuhan menitipkan mimpi-Nya pada anak-anak yang tak punya apa-apa, kecuali hati yang berani.”
Begitulah mungkin Andrea Hirata memulai kisah ini dengan penuh warna, berdetak, dan hidup. Laskar Pelangi bukan sekadar novel. Ia adalah potret nyata tentang sepuluh anak yang berjuang di tengah kerasnya kehidupan Belitung, di sebuah sekolah yang hampir roboh, dengan guru-guru yang digaji oleh semangat, bukan uang.
Sekolah yang Hampir Mati, Mimpi yang Tak Pernah Padam
Cerita dimulai di SD Muhammadiyah Gantung, sebuah bangunan kayu reyot yang nyaris ditutup karena kekurangan murid. Syarat minimal sepuluh siswa hampir tak terpenuhi. Sembilan anak sudah terdaftar, tapi siapa yang mau menjadi yang kesepuluh?
Di saat genting itu, datanglah Harun—seorang anak dengan keterbelakangan mental, ditemani ibunya yang penuh harap. Kehadirannya menyelamatkan sekolah. Dan begitulah, sepuluh anak miskin—dengan seragam compang-camping dan sepatu bolong—menjadi Laskar Pelangi, nama yang diberikan Bu Muslimah, guru mereka yang sabar dan penuh kasih.
Di antara mereka, ada Ikal—si pengarang kisah ini—yang jatuh cinta pada A Ling, gadis penjaga toko kelontong. Ada Lintang, si jenius yang harus berhenti sekolah karena ayahnya meninggal. Ada Mahar, seniman kampung yang suka hal-hal mistis. Ada Sahara, gadis keras kepala yang selalu bertengkar dengan A Kiong, si anak Tionghoa yang setia mengikuti Mahar seperti murid pada gurunya.
Mereka bukan pahlawan. Mereka hanya anak-anak yang bermimpi di tengah ketiadaan.
Kisah-Kisah Kecil yang Membekas
AS Laksana mungkin akan menuliskan adegan-adegan kecil ini dengan detail yang menghunjam:
- Lintang dan Cerdas Cermat
Suatu hari, SD Muhammadiyah diundang ke lomba cerdas cermat melawan sekolah PN Timah yang kaya raya. Lintang, dengan seragam lusuh dan sepeda tua, membawa timnya menang. Tapi kemenangan itu pahit. Ayahnya tewas diterkam buaya saat mencari ikan, dan Lintang harus berhenti sekolah. Ia yang jenius itu akhirnya menjadi sopir truk. - Mahar dan Sandiwara Hantu
Mahar, si pecinta seni, suatu kali membuat pertunjukan hantu untuk mengumpulkan uang. Tapi yang datang cuma segelintir orang. Namun, bagi Laskar Pelangi, malam itu adalah panggung megah—seperti Broadway di tengah Belitung. - A Kiong dan Sahara: Cinta yang Tak Terucap
Mereka selalu bertengkar. Sahara marah jika A Kiong memandangnya. Tapi di balik itu, ada rasa yang tak pernah diungkap. Hingga dewasa, mereka akhirnya menikah dan membuka toko bersama.
Bu Muslimah dan Pak Harfan: Guru yang Lebih dari Guru
Bu Muslimah—wanita lembut dengan hati sebesar samudra—mengajar tanpa digaji berbulan-bulan. Ia percaya bahwa pendidikan bukan soal gedung mewah, tapi soal tekad.
Pak Harfan, sang kepala sekolah, selalu bercerita tentang nabi-nabi sebelum mengajar. Suaranya parau, tapi kata-katanya menggetarkan. Suatu hari, ia meninggal dengan tenang, setelah memastikan anak-anak itu tetap bersekolah.
Akhir yang Bukan Akhir
Laskar Pelangi berpisah. Ada yang sukses, ada yang tetap miskin. Tapi mereka tak pernah melupakan masa kecil mereka—masa ketika mereka bersinar seperti pelangi setelah hujan.
Ikal menjadi penulis.
Lintang menjadi sopir.
Mahar menjadi seniman.
Sahara dan A Kiong menjalani hidup bersama.
Syahdan jadi aktor.
Kucai jadi politikus.
Trapani hilang dalam kegilaan karena terlalu mencintai ibunya.
Borek jadi kuli.
Harun tetap polos seperti dulu.
Apa yang Kita Bawa dari Kisah Ini?
Andrea Hirata tidak menulis novel ini untuk membuat kita menangis. Ia menulisnya untuk membuat kita berpikir.
- Mimpi itu gratis, tapi perjuangannya mahal.
Lintang bisa saja jadi profesor jika ayahnya tidak meninggal. Tapi hidup adil—ia tetap bahagia dengan truknya. - Pendidikan bukan soal gedung, tapi hati.
SD Muhammadiyah hampir rubuh, tapi melahirkan orang-orang hebat. - Kita semua adalah Laskar Pelangi.
Setiap orang punya cerita. Setiap mimpi punya hak untuk hidup.
Penutup: Sebuah Pelangi yang Tak Pernah Pudar
Laskar Pelangi telah diterjemahkan ke 40 bahasa, difilmkan, bahkan jadi pertunjukan teater di Washington. Tapi keindahan sejatinya ada di kata-kata Andrea Hirata—di setiap tawa, air mata, dan debu jalanan Belitung yang melekat di kaki sepuluh anak itu.
Mereka mungkin hanya cerita. Tapi bagi yang membacanya, mereka nyata.
Dan pelangi itu? Ia masih ada—setiap kali kita membaca ulang kisah ini.