[web_stories title=”false” excerpt=”false” author=”false” date=”false” archive_link=”true” archive_link_label=”” circle_size=”150″ sharp_corners=”false” image_alignment=”left” number_of_columns=”1″ number_of_stories=”5″ order=”DESC” orderby=”post_title” view=”circles” /]
SARANG – Waktu sahur kerap kali terlewat karena tengah terlelap tidur.
Akan tetapi, hal ini dapat dicegah dengan adanya tradisi membangunkan sahur keliling kampung dengan menggunakan kentongan bambu, atau menabuh bunyi-bunyian keliling kampung.
Tradisi ini dikenal dengan nama Thongklek.
Namun, hingga saat ini pada malam bulan Suci Ramadhan, tradisi Thongklek,an masih dilakukan, mulai dari Desa ke Kampung.
Bagi sebagian orang, tradisi ini dinilai cukup bermanfaat.
“Meski Di Zaman Modern, tapi kentongan bambu atau thongklek (tong-tongklek) masih menjadi tradisi di bulan Ramadan untuk membangunkan warga makan sahur.
Biasanya anak-anak dan remaja yang memainkannya,” kata Supardi, warga dukuh Lambang, desa Dadapmulyo, Kecamatan Sarang, Rembang, Minggu (26/03) Sementara, SUPARDI Salah seorang pembuat kentongan bambu asal Dukuh Lambang Desa Dadapmulyo Kecamatan Sarang, Kabupaten Rembang, menjelaskan, kentongan bambu telah bertahun-tahun menjadi salah satu nuansa khas yang mewarnai semaraknya bulan Ramadhan.
“Hampir di seluruh desa dan kelurahan, utamanya di perkampungan memeriahkan bulan puasa dengan membuat kentongan bambu, mereka dengan berkelompok berkeliling membangunkan warga saat makan sahur tiba,” ujarnya.
Dijelaskannya, thongklek tetap menempati posisinya sebagai warna lain bulan Ramadan di Sarang.
Tradisi ini selama tidak mengganggu warga masyarakat sekitar.
Menurutnya, kenthongan dan bebunyian tersebut jangan ditabuh sebelum tiba waktu sahur.“Agar tidak mengganggu keamanan dan kenyamanan.
Sebab kerap terjadi, karena suka sebagai hiburan, para remaja itu menabuh pada tengah malam, ketika warga sedang istirahat,” komentarnya. (R)