Baru-baru ini, pernyataan Presiden Prabowo Subianto mengenai kekagumannya terhadap sejarah peradaban Khilafah Utsmaniyah menjadi topik diskusi publik. Dalam acara yang digelar oleh Muhammadiyah, Prabowo menyebutkan berbagai keberhasilan peradaban ini, seperti toleransi, pemerintahan bersih, dan kemakmuran rakyatnya. Pernyataan tersebut adalah bentuk apresiasi terhadap sejarah Islam dan keberhasilan peradaban masa lalu dalam mengelola keberagaman dan menciptakan kesejahteraan (Mediaumat.info, Tagar.co).
Namun, kekaguman tersebut tidak berarti bahwa Presiden Prabowo berniat menerapkan sistem khilafah di Indonesia. Sebagai seorang negarawan, Prabowo menghormati Pancasila sebagai dasar negara yang menjunjung tinggi pluralisme, demokrasi, dan kesetaraan. Kekaguman ini semata-mata merupakan bentuk apresiasi terhadap nilai-nilai universal seperti keadilan dan kemajuan yang dapat diambil pelajarannya dari sejarah (Tagar.co, Ahmad Sastra.com).
Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) mengemukakan harapannya agar Presiden Prabowo Subianto tidak hanya mengagumi sejarah Kekhalifahan Utsmaniyah, tetapi juga menerima dan menerapkan sistem khilafah dalam pemerintahannya. Pernyataan ini muncul dalam acara “Focus to The Point” di kanal YouTube UIY Official, Sabtu (7/12/2024). UIY berpendapat bahwa peradaban Islam yang gemilang selalu berada di bawah naungan sistem khilafah (Mediaumat.info).
Namun, pandangan UIY tampaknya tidak sejalan dengan pernyataan dan sikap politik Prabowo yang konsisten mendukung Pancasila sebagai ideologi bangsa. Dalam pidatonya pada Milad ke-112 Muhammadiyah di Kupang, NTT, Prabowo memang menyoroti kehebatan Kekhalifahan Utsmaniyah sebagai peradaban yang multietnis, toleran, dan bertahan hingga 600 tahun. Kekaguman ini, menurutnya, didasarkan pada nilai-nilai positif yang bisa dipetik sebagai pelajaran sejarah, bukan sebagai dasar untuk mengganti sistem ideologi negara (Tagar.co).
Penting untuk diingat bahwa pada tahun 2018, Prabowo secara tegas menolak sistem khilafah dengan menyebutnya sebagai propaganda yang picik dan berbahaya. Dalam sebuah kesempatan di Ciganjur, Jakarta Selatan, ia menegaskan bahwa dirinya berkomitmen untuk menegakkan Pancasila secara murni dan konsekuen, bukan sekadar menjadikannya mantra kosong. “Jadi bukan Pancasila dan UUD 1945 dipakai sebagai mantra, tapi dijalankan,” ujarnya kala itu (YouTube, Mediaumat.info).
Memisahkan Kekaguman Sejarah dari Praktik Modern
Kekaguman terhadap sejarah peradaban besar, seperti Kekhalifahan Utsmaniyah, tidak otomatis berarti mendukung implementasi sistemnya di masa kini. Dalam konteks modern, tantangan yang dihadapi negara adalah membangun sistem yang inklusif dan sesuai dengan keberagaman masyarakat. Pancasila telah menjadi landasan kuat bagi Indonesia untuk mempersatukan perbedaan agama, suku, dan budaya.
Jika mengacu pada pernyataan Prabowo, ia lebih memilih untuk mengambil nilai-nilai universal, seperti toleransi dan kemanusiaan, tanpa harus meninggalkan kerangka ideologi yang sudah mapan. Langkah ini tidak hanya realistis tetapi juga menjaga stabilitas negara dalam konteks keberagaman Indonesia (Tagar.co).
Tantangan dan Relevansi
Harapan UIY agar Prabowo menerima sistem khilafah menunjukkan adanya dorongan dari sebagian kelompok untuk menghidupkan kembali sistem pemerintahan Islam klasik. Namun, penting untuk mengingat bahwa penerapan khilafah dalam konteks Indonesia yang pluralistik tidak hanya sulit tetapi juga berpotensi memecah belah persatuan. Ideologi Pancasila telah dirumuskan dengan memperhatikan keberagaman bangsa, sehingga menjadi solusi yang tepat untuk menjawab kompleksitas sosial-politik di tanah air (Ahmad Sastra.com, Mediaumat.info).
Pernyataan tokoh lain, seperti Ustadz Muhammad Ismail Yusanto (UIY), yang berharap Presiden Prabowo mengadopsi sistem khilafah, adalah pandangan pribadi yang tidak mencerminkan kebijakan atau arah pemerintahan Indonesia. Sebagai bagian dari diskursus demokrasi, setiap pandangan memiliki ruang untuk disampaikan. Namun, masyarakat perlu bijak dalam menafsirkan informasi ini agar tidak menimbulkan salah paham.
Kekhawatiran Prabowo terhadap propaganda khilafah sebagai ancaman bagi kestabilan negara juga bukan tanpa alasan. Wacana ini kerap disalahgunakan untuk memecah belah masyarakat dan merusak tatanan yang sudah mapan. Sebagai pemimpin, komitmen Prabowo terhadap Pancasila menunjukkan upayanya untuk menjaga kedaulatan negara dalam bingkai persatuan.
Kesimpulan
Kekaguman terhadap sejarah peradaban Islam, seperti yang ditunjukkan oleh Prabowo, adalah hal yang wajar dan patut diapresiasi. Namun, harapan agar kekaguman ini diikuti dengan penerimaan sistem khilafah tampaknya tidak realistis jika melihat konteks Indonesia yang plural dan komitmen Prabowo terhadap Pancasila. Sebagai pemimpin, ia memiliki tanggung jawab untuk menjaga ideologi negara dan memastikan bahwa setiap wacana politik tidak merusak fondasi persatuan bangsa (Mediaumat.info, Tagar.co).