Tribuanapost.id,Kelurahan Ngijo, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang, pada Sabtu (27/7/2024), diselimuti oleh semangat kebersamaan yang meriah dalam Festival “Mula Bukaning”. Festival ini bukan sekadar perayaan seni dan budaya, tetapi juga menjadi ajang pengenalan antara pendatang baru dengan warga lokal. Inisiatif ini berasal dari Kolektif Hysteria, sebuah komunitas seni dari Semarang yang baru saja mulai menjejakkan kakinya di Kelurahan Ngijo.
Festival ini menampilkan beragam pertunjukan seni tradisi, mulai dari ritual reresik sendang, bancaan, hingga pagelaran seni seperti Leak, kuda lumping, dan gedruk. Tidak hanya itu, festival juga diramaikan oleh kegiatan seni modern seperti live sketch dari komunitas Semarang Sketch Walk (SSW). Yasin Fajar, Kepala Proyek Festival, menjelaskan bahwa festival ini merupakan langkah awal bagi Kolektif Hysteria untuk membuka basecamp dan kantor baru di Kelurahan Ngijo.
Dengan tema “Mula Bukaning”, yang dalam Bahasa Indonesia berarti ‘pembukaan awal’, festival ini mencerminkan semangat Kolektif Hysteria dalam menapaki perjalanan barunya di Ngijo. “Lokasinya di Grobak Art Site Hysteria, yang kebetulan sedang dalam pembangunan sebagai kantor baru kami,” ungkap Yasin.
Yasin menambahkan, pendekatan seni dan budaya yang dilakukan dalam festival ini berlandaskan pada identitas masyarakat Ngijo serta karakteristik wilayahnya. Ini menjadi wadah bagi para pendatang dan warga lokal untuk saling mengenal dan memahami melalui seni, tradisi, dan rutinitas sehari-hari. “Perlu ada laku yang saling memahami, terutama bagi pendatang yang perlu memahami lingkungan sekitarnya. Begitu pun sebaliknya, lingkungan sekitar bisa menerima kedatangan si pendatang,” jelas Yasin.
Salah satu acara utama yang menarik perhatian warga adalah ritual reresik sendang dan bancaan. Acara ini dilengkapi dengan forum diskusi yang membahas pentingnya menjaga mata air (sendang) sebagai sumber daya alam yang berharga, meskipun zaman terus berubah. Kegiatan ini menunjukkan betapa pentingnya pelestarian budaya dan alam dalam menjaga identitas komunitas.
Meski bukan ritual yang biasa dilakukan di Ngijo seperti Sadranan, acara ini tetap disambut antusias oleh warga. Eko, salah satu tokoh masyarakat setempat, menjelaskan bahwa adat Sadranan rutin dilaksanakan di bulan Rajab, hari Kamis Wage, di Sarean Setono, tempat makam Kiai Asari, pendiri kampung Ngijo. “Kalau di sini yang rutin adalah Sadranan. Biasanya dilaksanakan di bulan Rajab, hari Kamis Wage,” kata Eko.
Festival “Mula Bukaning” adalah bagian dari Program Purwarupa di bawah Platform PekaKota yang diinisiasi oleh Kolektif Hysteria. Festival ini merupakan salah satu dari delapan festival kampung yang dirancang untuk menonjolkan potensi seni budaya dan tradisi lokal. Meskipun fokusnya adalah pada pelestarian seni dan tradisi, festival ini juga menekankan pentingnya menjaga sumber daya alam setempat, seperti mata air yang menjadi bagian integral dari kehidupan masyarakat Ngijo.
Dalam penutupnya, Yasin menegaskan bahwa festival ini bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga sebagai upaya untuk membangun kesadaran akan pentingnya melestarikan seni tradisi, budaya lokal, dan sumber daya alam. “Secara output masih tetap berupa festival dan panggung rakyat. Dengan begitu, tak hanya memantik untuk tetap meneruskan seni-tradisi maupun budaya setempat. Tetapi juga ada kesadaran dalam merawat dan melestarikan sumber daya alam setempat,” ujarnya.
Festival “Mula Bukaning” menjadi contoh bagaimana seni dan budaya dapat menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini, antara pendatang dan warga lokal, dalam rangka menjaga warisan budaya dan alam yang ada.(Red)